Minggu, 05 April 2015

NANO NANO KEHIDUPAN DAKWAH

Yahh.. seperti yang disimbolkan permen yang dengan berbagai macam rasa, manis asam asin, permen nano nano.
Manis itu sungguh terasa ketika berkumpul dengan ikhwah setarbiyah. Indah, nyaman, tentram dan rasa manis lainnya terasa begitu terekat dalam hati,

Tapi di satu rasa yang lain tak bisa ku ubah dunia dengan satu cerita yang kumiliki, rasa yang begitu enggan menyapa pagi ketika kaki ini mulai tak mampu berpijak, ketika pundak ini terlalu penat tak bisa bersandar, padahal sang surya yang terlihat di ufuk timur sana mulai perlahan membisiki Apa kontribusimu untuk Islam ini, tak sadarkah kau wahai hati begitu banyak waktumu yang terbuang hingga aku muncul kembali, sedikitpun tak ada perubahan yang nampak pada dirimu. Dan dengan lantang hatiku menjawab, iya.. memang seperti inilah aku, aku menyadari bahwa aku dikalahkan dengan rasa minder, malu, tidak percaya diri, merasa diri tak dibutuhkan  hingga langkahku selalu terhenti sebelum tiba tempat tujuan,
Sehebat  makhluk yang sering disebut setan itu berbisik memunculkan keraguan itu,  sampai akhir kata tak bisa ku bangkit untuk menyusul mereka yang sudah sekian lama berkecimpung dalam dakwah ini, tak terasa jua nano-nano kehidupan itu terselip rasa pahit lebih pahit dari biji kopi.
Asam.. rasa yang kurang sedap namun menyegarkan, tak ubahnya hari-hari yang lalu tarbiyah mengantarku menjadi seperti sekarang ini, menghadapi masa-masa sulit di kalangan masyarakat, namun kutemukan kesegaran dalam hati meski ia ditempa melebihi tempaan yang kualami beberapa tahun yang lalu.
Terasa seperti bangkit kembali, inilah detak kehidupan yang sudah lama layu mulai bersemi di muara jiwa hingga menyentuh relung-relung hati hingga helaian nafas begitu rileks berhembus,
Nano-nano rasa kehidupan seperti sayur yang ketika kekurangan garam ia akan terasa hambar, seperti itu pula rasa hambar hidup yang belum lulus ujian dari Rabbnya.
berusaha mati-matian meninggalkan hal-hal yang berbau dunia yang mengancam putusnya hubungan dengan Rabbku, ingin rasanya nimbrung kembali bersama mereka yang begitu istiqomah memegang amanah, iya…. Yang ada dalam otakku kali ini hanya amanah dan dakwah, kini tiba saatnya hari libur, terhambat lagi angan-angan yang begitu tinggi dengan problema kampung halaman, harus memilih antara amanah dan keluarga,
Bukannya ingin menghindar lagi, hanya saja karena disana aku membayangkan seorang wanita yang begitu tegar menghidupi anak-anaknya sampai sakitpun tak terasa olehnya, bahkan setiap malam kuteteskan air mata mendengar ia menjerit sakit saat anak-anaknya sudah mulai terlelap, iya.. dialah ibunda tercinta yang selama ini mengajarkanku sifat zuhud, tak mungkin tega meminta hasil jerih payahnya untuk biayaku di perantauan.
dan ku membayangkan seorang laki-laki yang begitu sabar mencari nafkah meski harus jauh dari istri dan anak-anaknya, bahkan linangan air mata rindu selalu menetes, merindukan bagaimana rasanya mencium tangan seorang ayah saat lebaran tiba, iya.. dialah ayah tersayang yang mendidikku menjadi muslimah taat ibadah, yang selalu paling depan membela disaat aku dikatakan sesat karena hijab syar’I, beliaulah yang menanamkan ODOJ dari aku usia belia, hingga tilawah satu juz setiap hari begitu ringan ku rasa karena terbiasa.
ku akui hati ini masih labil, diri ini masih begitu rapuh, tak ada keberanian untuk meninggalkan orangtua dan memilih meyelesaikan amanah, padahal dalam hati masih bergelora semangat juang yang luar biasa membersamai ikhwah mengemban amanah.
.untuk kawan-kawan seperjuangan, ku titipkan beribu-ribu maaf, tak pernah diri ini berniat untuk meninggalkan, hanya ingin fullkan birrulwalidain, dan berusaha menggapai ridha Allah melaui ridha orangtua, karena sudah kurasakan sebelumnya teguran dahsyat dari Sang Ilahai ketika kutinggalkan mereka demi urusan kampus saat mereka sangat membutuhkanku.

0 komentar:

Posting Komentar